Sagarmy – Carlo Ancelotti, salah satu pelatih paling berprestasi dalam sejarah Sports Betting sepak bola, mengungkapkan bahwa masa kepelatihannya di Bayern München meninggalkan “bekas luka yang belum sembuh”. Meski berhasil meraih trofi domestik, ia menyebut pemecatannya di klub Jerman itu sebagai pengalaman paling menyakitkan dalam kariernya.
Dalam autobiografinya, The Dream: How to Win the Champions League, pria Italia yang sukses menaklukkan Eropa bersama AC Milan dan Real Madrid ini menulis bagian paling keras justru untuk Bayern. Ia menggambarkan perpisahannya dengan klub Bavaria itu sebagai “pemecatan paling brutal” sepanjang perjalanan kariernya.
Ancelotti datang ke Allianz Arena pada musim panas 2016, menggantikan Pep Guardiola. Target utamanya jelas: membawa Bayern berjaya di Liga Champions. Musim perdana berjalan manis—Bundesliga dan Piala Super Jerman berhasil dibawa pulang. Namun, prestasi tersebut dianggap sekadar kewajiban, bukan pencapaian. Di Bayern, ukuran sesungguhnya hanyalah kejayaan di panggung Eropa.
Selain ekspektasi tinggi, Ancelotti juga menghadapi dinamika kepemimpinan yang unik. Tidak ada satu figur dominan, melainkan sekelompok tokoh kuat: Karl-Heinz Rummenigge, Uli Hoeness, dan Philipp Lahm. “Saya tidak tahu siapa yang paling berkuasa,” aku Ancelotti. Situasi itu membuatnya sulit merasa benar-benar didukung.
Baca Juga : Napoli Tumbang dari Milan Meski Unggul dalam Statistik Sports Betting
Ketegangan semakin terasa ketika dewan klub memintanya membacakan “lima aturan disiplin” kepada tim. Bagi Ancelotti, instruksi itu terkesan konyol untuk skuad penuh bintang dunia. Ia menuruti permintaan tersebut, tetapi menegaskan bahwa itu bukan gagasannya. Celah antara pelatih dan manajemen pun makin melebar.
Titik balik terjadi pada 27 September 2017, ketika Bayern kalah 0-3 dari PSG di fase grup Liga Champions—hasil terburuk klub dalam lebih dari dua dekade. Malam itu juga, Rummenigge mengisyaratkan konsekuensi. Tak lama berselang, Ancelotti resmi diberhentikan. “Anda tidak butuh bos yang plin-plan untuk kehilangan pekerjaan. Pemegang saham pun bisa melakukannya,” tulisnya.
Yang paling ia sesalkan adalah dinginnya perlakuan manajemen: trofi domestik tidak dihargai, sementara rasa hormat kepada pelatih seakan lenyap. Ia pernah didepak Juventus, Chelsea, dan Real Madrid, tetapi pengalaman di Bayern menurutnya adalah “pukulan paling kejam”.
Selepas Ancelotti, Jupp Heynckes kembali menukangi Bayern dan membawa mereka ke semifinal Liga Champions, sebelum dihentikan Real Madrid—klub yang justru pernah dipimpin Ancelotti menuju puncak Eropa. Sebuah ironi yang menunjukkan betapa kerasnya sepak bola di level tertinggi.
Lebih dari sekadar cerita pribadi, pengalaman Ancelotti merefleksikan karakter Bayern sebagai klub: tanpa satu pemilik absolut, melainkan dikelola oleh kekuatan kolektif. Model ini menjaga tradisi dan stabilitas finansial, namun kadang terasa kaku dalam memperlakukan pelatih.
Bagi Ancelotti, kenangan di München masih menjadi luka terbuka. Tetapi justru dari kegagalan itulah ia bangkit, kembali bersama Real Madrid, menjuarai Sports Betting Liga Champions, dan mengukuhkan diri sebagai salah satu manajer terbesar sepanjang masa.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.