Sagarmy – Upacara penganugerahan Ballon d’Or 2025 Sports Betting resmi berakhir dengan kemenangan Ousmane Dembélé di kategori putra. Hasil ini langsung memunculkan perdebatan, sebab ia mengalahkan Lamine Yamal, yang oleh banyak pihak dianggap kandidat paling pantas untuk meraih penghargaan individu tertinggi dalam sepak bola.
Tidak Ada Dominasi yang Jelas
Musim 2024/25 berjalan tanpa adanya turnamen besar di level tim nasional serta tanpa sosok pemain yang benar-benar mendominasi kompetisi. Dalam situasi tersebut, Dembélé tampil sebagai pilihan utama berkat kontribusinya bersama Paris Saint-Germain (PSG) di Liga Champions.
Pada usia 28 tahun, ia menjadi top skor PSG di fase gugur dengan empat gol—dua di antaranya krusial saat melawan Liverpool dan Arsenal, sementara dua sisanya dicetak ke gawang Brest.
Namun, performa domestik PSG di Ligue 1 dinilai kurang berarti, mengingat dominasi finansial klub sudah membuat persaingan di liga berjalan hampir tanpa kompetisi nyata.
Perbandingan dengan Legenda
Keberhasilan Dembélé terlihat semakin dipertanyakan jika dibandingkan dengan nama-nama besar yang sepanjang kariernya tak pernah mengangkat Ballon d’Or, seperti Xavi, Iniesta, Thierry Henry, Paolo Maldini, Robert Lewandowski, Mohamed Salah, hingga Erling Haaland.
Baca Juga : Kolektor Trofi dan Raja Sepak Bola Turki Sports Betting
Banyak di antara mereka gagal karena faktor “nasib buruk” menghadapi lawan tangguh di eranya, sekaligus karena kontroversi mengenai makna Ballon d’Or itu sendiri: apakah benar untuk pemain paling berharga (MVP) atau justru untuk pemain terbaik di dunia dari sisi talenta?
Kasus Lamine Yamal
Di sisi lain, Lamine Yamal yang baru berusia 18 tahun, dianggap banyak pihak sebagai pemain paling berbakat saat ini. Ia menunjukkan kelas dengan aksi-aksi yang sukar ditandingi pemain seusianya, bahkan dalam laga-laga besar.
Kekalahan Barcelona dari Inter Milan di semifinal Liga Champions tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepadanya, karena sepak bola tetaplah permainan kolektif. Secara individu, penampilannya jauh lebih impresif daripada Dembélé.
Faktor PSG dan Lobi di Balik Layar
Kesuksesan Dembélé sebagian besar juga dikaitkan dengan keberhasilan kolektif PSG menjuarai Liga Champions. Bahkan ada yang berargumen bahwa peran Khvicha Kvaratskhelia lebih vital bagi perjalanan tim tersebut ketimbang Dembélé.
Kemenangan ini menimbulkan kesan bahwa Ballon d’Or kini lebih menekankan kilau trofi dibandingkan konsistensi performa personal. Rumor yang beredar sebelum gala juga menyebutkan adanya lobi dari pihak PSG dan agen Dembélé, sehingga hasilnya semakin dipandang kontroversial.
Kontras dengan Kategori Putri
Untuk kategori wanita, Aitana Bonmatí dari Barcelona mencatatkan sejarah dengan meraih Ballon d’Or ketiganya secara beruntun. Walaupun timnya kalah di final Liga Champions maupun bersama Spanyol di Euro, kontribusinya tidak terbantahkan sebagai penggerak utama permainan.
Ironisnya, kegagalan meraih trofi besar tidak menghalangi Bonmatí untuk tetap diakui sebagai yang terbaik, sementara Yamal justru tersingkir meski menunjukkan level performa individu yang lebih meyakinkan ketimbang Dembélé.
Apakah Yamal Terlalu Muda?
Pertanyaan yang menggantung adalah apakah usia menjadi faktor penghalang bagi Yamal. Jika ia menang, ia akan mencatat sejarah sebagai remaja pertama peraih Ballon d’Or. Namun, jelas terlihat bahwa dari segi kualitas permainan, ia berada satu tingkat di atas Dembélé.
Sayangnya, fakta PSG Sports Betting berhasil menjuarai final lebih menutupi kesenjangan penampilan individu tersebut—dan itulah yang pada akhirnya membuat penghargaan jatuh ke tangan Dembélé.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.